29 Maret 2010

Sebuah Penantian untukmu sobat

Sepertinya cuaca pagi itu agak mendung, membuat semua aktivitas yang akan dilakukan menjadi kacau sedikit. Gemuruh petir terasa menggetarkan tanah jelas di relung hati setiap insan. Langit yang memerah terus mengeluarkan tetesan air dari perutnya, dari pagi hingga sore. Saat itu juga tampak seorang gadis berseragam SMA berteduh di halte bis sambil menunggu hujan reda, ia mengambil sebuah handphone Nokia di tasnya. Ditulisnya sebuah pesan singkat kepada seseorang. Tidak lama kemudian sebuah mobil Mercedes hitam mendekati gadis itu, terlihat seseorang berpakaian polos dan sederhana.

“Kenapa lama sekali, aku seperti di dalam kulkas karena kelamaan menantimu,” rengut gadis berseragam SMA itu.
“Maafkan aku Ima, kamu tahu sendiri ‘kan, Jakarta itu macet.”
“Sudah tahu Jakarta itu macet kenapa tidak pergi dari awal,” balas Ima lagi, ketus.
“Sudahlah Ma. Aku tadi ada kerjaan sedikit makanya aku telat.” Tara berusaha menenangkan Ima yang lagi kesal.
“Bisa kita pulang sekarang?” tanya Tara kepada sahabatnya.
“Kapan lagi. Tahun depan!” cetus Ima.

Tidak berapa lama kemudian mereka pun meluncur menembus hujan yang begitu deras. Sampai di rumah, Ima langsung mengganti pakaian tanpa terlebih dulu makan siang. Dia langsung menuju ke belakang rumahnya dan menuju ke sebuah lapangan basket. Diambilnya bola basket yang berada di bawah kursi. Lalu ia lempar hingga menembus keranjang basket. Hujan pun semakin lama semakin bersembunyi di balik awan. Kini tinggal tetes air kecil yang turun bergantian. Ima terduduk lelah dan terdiam di lapangan itu. Pikirannya kacau, bayangan Arjuna, sahabat kecilnya, bermain-main di benaknya. Seketika ia teringat akan kenangan manisnya bersama sahabat kecilnya itu. Tanpa ia sadari air matanya menetes seiring gerimis saat itu. Masa lalunya sangat pahit untuk diingat dan terlalu manis jika dilupakan.

Saat ia telah mengeluarkan air matanya, sebuah panggilan halus didengarnya sehingga ia sadar dari lamunannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya perempuan tua itu lembut.
Dia hanya diam. Bibirnya sulit mengeluarkan sepatah katapun. Tubuhnya kaku.

“Sudahlah Nak. Jangan kau terus menyiksa dirimu seperti ini. Nanti kau sakit,” lanjut perempuan tua itu sedih.
“Aku sudah terlanjur sakit, Bu. Hatiku sudah hancur seperti puing-puing yang tak tersisa lagi,” ratap Ima.
“Kau masih punya ibu, Nak. Ibu tidak akan membiarkan kau terus-terusan begitu,” balas ibunya dengan air mata yang berguguran.

Malam itu Ima tidak keluar dari kamarnya. Kata-kata Arjuna selalu terngiang di memorinya. Sebuah janji yang terucap dari mulut mungil laki-laki itu, selalu ia nantikan.

“Tiga hari lagi ulang tahunku. Aku tahu Arjuna pasti datang untuk menepati janjinya. Dia akan kembali untukku,” pikirnya sedih. Memang semenjak Arjuna pergi ia selalu murung.

Malam semakin larut. Angin-angin malam yang mengerikan terus menusuk pori-pori setiap orang yang menikmatinya. Suara jangkrik makin riang, tapi burung hantu berhenti menangis. Ima telah terlelap dalam tidur.
Pagi hari, gadis berkulit sawo matang itu berangkat ke sekolah. Tiba di sekolah, seorang gadis sebaya dengannya menghampiri. Seperti biasa Tara selalu menasehati Ima. Memberi penjelasan dan berusaha meyakinkan Ima tentang Arjuna. Baru saja Tara memulai pembicarannya, ia telah disemprot Ima yang masih jengkel.

“Aku sudah katakan! Arjuna itu masih hidup. Dia akan datang di hari ulang tahunku,” katanya yakin.
“Ima, kau jangan gila. Arjuna telah mati. Bencana itu telah merenggutnya. Kau harus menerima kenyataan ini,” kembali Tara menjelaskan.

“Terserah kamu berkata apa. Aku yakin dia pasti kembali. Itu janjinya!”
“Kau harus sadar Ma! Mana mungkin orang yang sudah mati hidup kembali,” jelas Tara dengan sedih.
“Tidak… sebelum aku melihat mayatnya aku tidak akan percaya,” Ima bersikeras menentang kata-kata Tara.
Tara pasrah. Tak tega lagi melihat sahabatnya itu terus-menerus menderita. Apa yang harus kulakukan Tuhan? Bukakan pintu hatinya. Yakinkan dia bahwa Arjuna telah tiada….

Hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu Ima. Sebelum acara ulang tahunnya dilaksanakan, ia telah mempersiapkan segala keperluan dengan baik. Kue telah ia hias secantik mungkin. Saat itu semua teman-temannya telah hadir dan acaranya akan segera dimulai. Tapi wajah Ima tampak cemas, gelisah. Ia mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Seperti sedang menanti seseorang. Setengah jam berlalu. Tapi acaranya belum juga dimulai, karena teman-temannya telah lama menunggu, hampir membuat semuanya cemas. Tapi Ima tetap menanti seseorang, yaitu Arjuna.

Tara ikut gelisah. Dia panik! Apa yang harus dilakukan. Terpikir olehnya untuk membuka TV yang berada di sudut ruang tengah itu, dengan harapan agar teman-temannya tidak bosan menunggu. Tapi saat memencet remote TV, berita korban tsunami dan gempa susulan banyak memakan korban lagi. Tara segera memanggil Ima dan…

“Ini tidak mungkin Ra! Arjuna pasti tidak ada di situ.” Teriak Ima sedih ketika melihat tayangan itu.
Semua temannya terkejut dan menatapnya tajam dan penuh tanda tanya.

“Ini kenyataan Ma. Semua orang yang ada di Aceh, telah meninggal semua,” jelas Tara prihatin.
“Aku tidak percaya… Arjuna telah berjanji kepadaku dan aku akan me-nantinya,” ia kembali histeris.
“Ima kamu harus sabar! Aku yakin jika Arjuna melihat kamu begini, ia pasti sedih. Lebih baik kamu mendoakannya.”
“Tidaaak!!!”

Ia lari meninggalkan acaranya. Air matanya satu per satu membasahi pipinya. Langkahnya semakin lama semakin pelan dan terhenti. Nafasnya berburu kencang. Jantungnya berdetak cepat. Sepertinya ia merasa telah jauh alam yang tengah ia rasakan sekarang.

Ia terduduk lemah memandang langit yang kelam. Isak tangisnya terus berjalan. Dalam menangis sesosok bayangan putih melintas di depannya. Ia tersentak, mulutnya spontan mengucap nama Arjuna dengan gemetar.
Bayangan itu makin lama makin jauh. Tersenyum manis kepada Ima. Meninggalkannya dalam kesendirian. Ia terus terpaku dan tak dapat mengedipkan mata. Setelah bayangan putih itu lenyap ditelan kabut ia kembali memejamkan mata dan menangis.

“Aku telah rela melepaskanmu pergi untuk selamanya. Meski hal ini sangat menyakitkan bagiku. Aku ikhlas…” ucapnya lirih.

Angin bertiup sepoi-sepoi, satu per satu lembar-lembar daun cemara gugur di depannya. Ia meraih ranting, lalu di tulisnya sebait puisi.
Detik-detik berlalu
Musim semi pun akan berganti
Angin sepoi pun telah merayu
Tapi penantianku
Selalu hidup untukmu….

Untuk terakhir kali ia menjerit menyebut Arjuna melepaskan suaranya ke udara. Suaranya menggaung. Kini penantiannya pun telah berakhir. Mungkin janji tak selalu harus ditepati tapi sahabat sejati selalu tetap di hati.

Aku yang salah

Dia memang orang yang tertutup, bahkan sangat tertutup, tetapi aku bisa sedikit masuk lewat pintu hatinya yang sedikit renggang. Walau susah akhirnya dia mau menceritakan masalahnya kepadaku, dan meminta aku merahasiakan hal itu.
“Kamu malu ya?” tanyaku waktu itu.

“Tidak. Aku tidak malu, aku cuma tidak mau dikasihani orang lain dan diberi perhatian khusus, aku ingin biasa saja.” Jawabnya dengan wajah tak bergeming. “Aku masih bisa hidup walau bagaimanapun caranya.”

“Iya, tenang aja aku pasti menyimpan rahasia ini.” Aku mencoba untuk mengerti dia.
“Terima kasih, Wit,” katanya lagi. Aku hanya mengangguk. “Tapi kenapa kamu sering tidak masuk sekolah?”
“Aku tidak semangat ke sekolah.”

“Tidak semangat? Seharusnya kamu itu semangat ke sekolah. Siapa tahu kekosonganmu akan terisi dengan adanya kegiatan-kegiatan di sekolah.”

“Entahlah.” Dia melenguh. Tidak ada yang bicara lagi. Bel tanda waktu istirahat selesai berbunyi. Semua kembali ke kelas. Aku duduk di tempat duduk

Tak terasa sudah enam bulan aku duduk di kelas XII, waktu pembagian rapor pun tiba. Tapi satu orang yang tidak datang mengambil rapor, yaitu Ruli. Apa anak itu masih natalan? Pikirku. Padahal aku sudah memberi tahu dia bahwa hari ini pembagian rapor.Ternyata dia tidak juga datang.

“Le, Ruli ke mana sih?” Tanyaku kepada Sule setelah selesai pembagian rapor.
“Nggak tau, sejak dua hari kebelakangan ‘ni HP-nya tidak aktif. Aku takut terjadi apa-apa aja sama dia.”
“Maksud kamu?”

“Iyalah, kemaren katanya dia sakit, jadi takut aja ada apa-apa.”
Aku tidak menjawab lagi, pikiranku hanyut entah ke mana. Ada apa lagi dengan Ruli? Apa dia baik-baik saja? Di mana dia sekarang? Apakah dia sudah pulang dari rumah neneknya? Berbagai pertanyaan berlomba-lomba masuk ke benak ku. Sayangnya, satu pun tidak terjawab. Pikiranku berkecamuk.

Libur semester ganjil telah usai. Semua siswa kembali ke sekolah. Ada dengan wajah gembira, ada juga dengan wajah kusut, mungkin belum puas mengokol di tempat tidur. Sedangkan aku sangat senang kembali ke sekolah apalagi hari senin ini kami akan diberi sarapan pagi yang enak, sarapan Fisika. Mata pelajaran yang sangat aku sukai di kelas XII, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ruli, ingin tahu keadaannya. Dan ingin melihat keceriaan sebenar di wajahnya bukan kepura-puraan yang selalu disebarkannya.

Tetapi hari ini masih juga belum aku temukan sesosok Ruli di dalam kelas. Mataku liar memandang seluruh penjuru sekolah, tidak juga kutemukan. Dia memang tak datang lagi. Sudah dua minggu berlalu, Ruli belum juga tampak.

“Le, tahu nggak di mana Ruli? Sudah dua minggu belum masuk juga. Biasanyakan kamu selalu sms-an ma dia.”
“Tidak. Udah lama aku tidak menghubungi dia. Kamu ke-napa sih, Wit, nanya Ruli mulu?”

“Nggak apa-apa sih, aku ‘kan sekretaris, jadi aku harus tahu keterangan setiap siswa yang tidak hadir.” Ja-wabku sekenanya.
Ada keraguan di wajah Sule. Aku tak peduli. Jam pelajaran ke empat telah berlangsung selama satu jam pelajaran, Kepsek masuk ke kelas kami. Semua diam. Kepsek yang satu ini memang ditakuti semua siswa, tapi tidak untukku. Aku hanya segan kepadanya.
“Ruli sudah masuk?” tanyanya tegas.
“Belum, Buk!” Jawab kami serentak.

“Ke mana dia?”
Aku mengacungkan tangan agar tidak terjadi kekecohan. Kepsek memandang ke arahku meminta jawaban.
“Tidak tahu, Buk, karena dia tidak tinggal di rumahnya.” Ja-wabku.
“Orang tuanya?”
“Katanya mereka sudah berpisah dan tidak tinggal bersama lagi.”
“Pendidikan itu penting untuk masa depan, jadi jangan menyia-nyiakan pendidikan selama ada kesempatan.” Nasehatnya kepada kami. Dia pun berlalu. Ica dan Rozal memandangku dengan tatapan tajam.
“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Mengapa kamu membuka rahasia Ruli?” Tanya Rozal. “Kalau dia tahu kami pun akan dipersalahkannya.” Sambungnya.
Lama aku berfikir rahasia mana yang aku buka,baru aku ingat dengan perkataanku kepada Kepsek tadi, “berpisah.”
“Ya Tuhan, aku lupa. Sumpah! aku tak sengaja dan sama sekali tidak berniat membuka hal itu. Maafkan aku, sungguh aku tak sengaja.” Kataku menyesal. Selain aku, Ica dan Rozal juga tahu masalah Ruli.

“Kenapa kamu minta maaf kepada kami, minta maaflah kepada Ruli.” Kata Rozal.
Mulai saat itu hatiku sungguh resah, rasa bersalah terus menghantui. Mau minta maaf, aku tidak tahu Ruli ada di mana sekarang. Aku takut dia membenci aku. Aku tak mau menambah satu orang lagi yang membenci aku, seperti Yuda dan Resa. Sudah banyak kali aku SMS Ruli tapi tidak ada balasan. Perasaan bersalah ini benar-benar mendera.

Langkahnya gontai, menunduk, terkeseng-keseng. Sudah dua minggu dia tidak muncul, baru sekarang menampakkan hidungnya. Mungkin anginnya mulai membaik. Dia langsung menuju tempat duduknya di ujung sudut kelas. Masih menunduk. Entah apa dalam pikirannya, semua tidak tahu. Memang orang lain tak peduli dengannya, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya aku dan Sule yang selalu bertanya keadaannya. Sebenarnya dari pertama aku melihat Ruli di rumah temanku, aku sudah mulai ingin tahu tentangnya. Apa yang menarik tentangnya aku tak tahu, yang aku tahu dia tengah sendiri. Dan aku telah menghancurkan kepercayaan yang diberikannya.

Tiga hari telah berlalu perasaan takutku masih mencengkam, terus mengalahkan keberanianku untuk berbicara langsung dengan Ruli. Menjelaskan semua tapi untuk bertemu dengannya saja aku takut, takut sekali. Apalagi sejak dia masuk ke sekolah tidak pernah sekalipun dia menegur bahkan melihatku. Sampai guru Bahasa Indonesia masuk ke kelas.

“Hari ini Bapak ingin kalian semua untuk menulis pengalaman masing-masing.” Pak Santoso membuka pertemuan kali ini. “Tapi Bapak mau satu orang ke depan untuk menceritakan pengalamannya.”

Hening. Semua bungkam. Tidak ada yang bersuara. Kelas yang aku duduki sekarang memang seperti itu, bila disuruh bicara dia diam tapi bila disuruh diam dia bicara. Sungguh memuakkan. Aku mengangkat tangan.

“Baiklah, Wita maju ke depan.” Aku melangkah ke depan kelas. Ada rasa gentar juga ditatapi oleh tiga puluh pasang mata.
“Ayahku meninggal dunia ketika aku masiah terlalu kecil,” kataku mengawali cerita. Tidak ada yang bersuara. Ruli tidak melihat ke arahku, dia masih menunduk.

“Ibu yang telah membesarkan kami anak-anaknya. Ketika aku di SD aku tidak pernah merasakan yanng namanya seragam baru. Semua bekas. Aku tidak pernah mengeluh, yang penting aku bisa sekolah. Di SMP aku membiayai sekolahkku sendiri dengan bantuan beasiswa untuk siswa yang berprestasi. Begitu juga di SMA. Aku selalu ditinggal sendiri di rumah, ibu dan kakak sering pergi. Ibu selalu berkata bahwa aku memang dibiarkan belajar hidup mandiri. Walaupun aku tidak makan, tapi aku harus sekolah. Itulah yang selama ini aku pertahankan. Masalah? Memang harus dimiliki oleh setiap insan agar bisa mengembang pola pikir kita. Kalau masalah keluarga, aku rasa keluargaku yang paling parah, kecoh. Setiap hari pasti ada pertengkaran, adu mulut, menangis. Sepertinya bagi mereka tiada hari tanpa bertengkar. Kadang aku berpikir untuk pergi dari rumah dan kota ini. Tapi ketika aku berpikir ulang, kalau aku pergi maka sekolahku akan terbengkalai, dan perjalananku sejauh ini akan sia-sia. Makanya aku masih bertahan sampai detik ini.”

Aku menutup cerita. Aku kembali ke bangku. Sebenarnya aku ingin Ruli sadar bahwa hidup ini memang susah, tapi harus dihadapi dan dijalani, karena di setiap langkah kita selalu disirami dengan kasih sayang yang abadi yaitu kasih sayang Tuhan. Bagi aku, kenyataan itu pengajaran. Belajar menghadapi kenyataan berarti belajar menikmati kehidupan. Kalau bagi orang lain hanya dua kata yang ingin aku ucapkan, “pata nehi.”

2000 botak aja

Si Doni memanggil tukang cukur keliling yang kebetulan lewat depan rumahnya, ia berniat mencukur rambutnya.

Doni: “Bang! Tukang cukur, cukur sini bang!”

Tukang Cukur: “Mau cukur Don?!”

Doni: “Dipendekin berapa harganya bang?”

Tukang Cukur: “Murah cuma 3000 Don.”

Doni: “Kalau botak berapa bang?”

Tukang Cukur: “Kalau botak 2000.”

Doni: “Ya sudah kalo gitu pendekin aja bang biar rapi.”

Kemudian si tukang cukur segera mencukur rambut si Doni, setelah rapi Doni membayar tukang cukur dengan uang 5000an.

Tukang Cukur: “Wah nggak ada kembaliannya Don, ni aja baru penglaris.”

Doni: “Waduh gimana yach bang gak ada recehan nich bang…”

Sambil garuk kepala Doni berpikir, setelah lama berpikir kemudian Doni memutuskan.

Doni: “Ya udah bang, kalau gitu yang 2000 botak aja.”

Tukang Cukur: ckckckck??”

13 Maret 2010

Puisi Sahabat

Kau yang mengisi kesendirianku ..........
Sedih,susah,senang,serta berkelahi
Kita alami berdua............

Disaat kesendirianku kau yang mengisi
cerita untukku............
Dikala kesendirianmu aku yang mengisi
cerita untuk mu..........

Begitu banyak cerita antara
kau dan aku.........
Sahabat kau tetap sahabatku...........
Sahabat kau teman dalam hidupku...........
Tiada hari tanpa kehadiranmu
Sahabat ku................

12 Maret 2010

Cinta Bukanlah Coklat

Hari-hari gene nggak sedikit remaja ngerubung mal en toko-toko suvenir.Nggak sekadar window shopping atau cuci mata, mereka udah megang duit untuk beli kartu cinta, setangkai kembang, en sebatang coklat. Tiga barang itu emang udah lengket banget dengan V-Day dan tanda kasih sayang.
Anak-anak umat islam udah banyak yang nggak mikir lagi gimana sejarahya V-Day apalagi soal boleh nggaknya kita-kita yang muslim ikut terjun ngerayainnya. Pokoknya seru, bisa kasih sayang,bisa ekspresikan rasa cinta,dan pastinya dapat something special dari someone yang dicintai.
dilihat dari sana en sini V-Day itu nggak bisa di halalkan.Kelewat banyak yang haramnya,lho....... Mulai dari menyerupai orang kafir,merayakan hari raya mereka,sampai ekspresi cinta dan kasih sayang yang nggak bener.
Allah Swt. berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman."